Rabu, 24 November 2010

Renungan Faedah Ilmu dan Keikhlasan Niat, serta Selalu Membenahi Ilmu,Iman,Amal

 إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنامن يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. أما بعد

Ikhwati fillah wa abna-i rahimani wa rahimakumullah,

Alhamdulillah, kita banyak bersyukur dan memuji kepada Allah subhanahu wata’ala, atas banyaknya kenikmatan yang telah Ia berikan kepada kita, utamanya kenikmatan iman, kenikmatan hidayah di atas Islam, demikian pula kenikmatan taufiq, yang Ia berikan untuk kemudian kita berada di atas sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang keduanya merupakan kenikmatan besar yang Allah subhanahu wata’ala anugerahkan kepada hamba-Nya, tetapi banyak dari mereka yang tidak menyadarinya.
Ikhwati ahibbah a’azakumullah,
Sesungguhnya kita sebagai seorang muslim ketika menyadari diberikan taufiq oleh Allah subhanahu wata’ala untuk menelusuri jalan ilmu, maka itu pertanda khair (kebaikan) yang Allah berikan kepada hamba-Nya.

ومن يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

“Dan barang siapa yang Allah inginkan untuknya kebaikan, akan Allah jadikan dia faqih (berilmu, faham) tentang agamanya.” [Muttafaqun ‘Alaihi dari shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma]
Kata ‘khairan’ dalam hadits tersebut adalah nakirah dalam konteks syarat, yang berarti menunjukkan keumuman segala bentuk dan makna khairiyyah (kebaikan), serta segala kebaikan duniawi maupun ukhrawi, akan Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada hamba-Nya yang kemudian dipermudah baginya untuk tafaqquh fiddin.
Kalau kemudian niat ini yang ada pada masing-masing kita lillah dan untuk tafaqquh fi dinillah -nas’alullah dzalika (kita memohon kepada Allah yang demikian)-, maka kebaikan itu yang akan Allah subhanahu wata’ala berikan kepada kita walaupun yang lain tersibukkan dengan dunianya.
Disebutkan oleh Al-Imam Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah:
“Kami empat bersaudara (beliau sebutkan nama masing-masingnya), masing-masing punya cita-cita dan keinginan sendiri-sendiri, fulan saudaranya menginginkan harta dunia, maka dia cari pasangan (yakni wanita) yang kaya dari keluarga yang berada, fulan yang lain menginginkan kehormatan duniawi, maka dia mencari istri dari kelurga yang mulia dan terhormat secara duniawi, dan yang lain lagi menginginkan kecantikan … dan seterusnya, maka Allah balas pada masing-masing mereka kebalikannya. Fulan menginginkan harta pada akhirnya kemiskinan justru yang dia dapati sehingga terpuruk dunianya, fulan lain yang mengingikan kehormatan justru dia akhirnya terhina, … dan seterusnya. Adapun aku -kata beliau rahimahullah- menginginkan diin (agama), maka Allah subhanahu wata’ala kumpulkan yang lain untukku.”
Karena agama yang dipentingkan, maka kemudian Allah subhanahu wata’ala berikan pada beliau harta, padahal semula tidak beliau inginkan dan tidak ada di niat beliau untuk itu. Allah juga berikan kehormatan dan kemuliaan duniawi sebelum akhiratnya, padahal itu juga bukan tujuan beliau.
Tetapi demikianlah balasan bagi orang-orang yang mementingkan iman dan agamanya, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan:

مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ – وفي رواية: بَثَّهُ وَسَدَمَهُ – جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ

“Barang siapa yang akhirat itu menjadi sesuatu yang dia pentingkan dari segalanya, -dalam riwayat yang lain: sesuatu yang menyibukkan dan menyita dia dari segalanya, dan dia korbankan dirinya untuk akhirat tersebut-, maka Allah cukupkan hatinya dan Allah satukan untuk perkaranya, dan datang dunia itu padanya dalam keadaan dunia itu yang terhina.” [HR. At-Tirmidzi dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu]
Karena layaknya orang yang mencari dan mengejar dunia, sehingga dia yang menghinakan diri di hadapan dunia itu. Tetapi balasan bagi orang mu’min yang mementingkan agamanya, dunia itu yang datang mengemis untuk dia terima dalam keadaan terhina.
Ikhwati fillah a’azzakumullah,
Tentunya perkara iman dan ilmu, telah ma’ruf (diketahui) oleh antum semua tentang keutamaannya. Bagaimana pujian Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap ilmu dan ahlul ilmi (orang-orang yang berilmu). Keutamaan-keutamaan itu menuntut dari setiap muslim untuk menjaga keikhlasannya, agar dia mendapati apa yang Allah janjikan kepadanya. Yakni keikhlasan kepada Allah dan untuk Allah semata, karena itu adalah perintah Allah kepada segenap hamba-Nya.

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” [Al-Bayyinah: 5]
Keikhlasan dengan membenahi segala ucapan dan amal perbuatan kita, yang tampak maupun yang tidak tampak. Ishlahul bathin (upaya membenahi batin / yang ada di dalam diri kita). Keikhlasan kepada Allah, ketaqwaan kepada-Nya, serta menyadari dan yakin bahwa dia selalu diawasi oleh Allah subhanahu wata’ala. Itulah yang akan membenahi pribadi seorang muslim.
Oleh sebab itu seseorang pasti tidak luput dari dua keadaan:
- mungkin dia bersama yang lain,
- atau dia sedang dalam keadaan sendiri dan tidak ada yang bersamanya.
Kedua-duanya membutuhkan taqwallah dan keikhlasan kepada-Nya.
Ketika bersama orang lain, dia menjaga ikhlas dan taqwa kepada Allah agar tidak menzhalimi mereka dan tidak menyalahi syari’at Allah. Maupun ketika dia sendiri, agar kemudian dia tidak melanggar apa yang telah Allah subhanahu wata’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan kepadanya.
Di situlah kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memohon selalu kepada Allah subhanahu wata’ala sebagaimana di dalam hadits:

وَأَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ

“Dan aku memohon kepada-Mu ya Allah agar takut kepada-Mu, di kala sendiri maupun ketika bersama orang lain.” [HR. An-Nasa’i dari shahabat ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu]
Di manapun hamba itu berada, kapanpun dia (sendiri ataupun bersama orang lain), kalau batinnya telah dia benahi dengan iman, ilmu, dan amal shalih, maka dia menjadi seorang yang mukhlis lillah dan bertaqwa selalu kepada Allah ‘azza wajalla, dia tidak akan melakukan sesuatu yang bisa menzhalimi dirinya sendiri ataupun menzhalimi orang lain.
Itulah yang selalu diingatkan oleh para ulama salaf rahimahumullah, kata Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah:
“Ingatlah kalian selalu kepada Allah, bertaqwalah kalian selalu kepada Allah untuk selalu membenahi batin kalian, karena tidak akan bermanfaat keshalihan (kebaikan) secara zhahir (yang tampak) sementara batinnya rusak.”
Ikhwati fillah rahimani wa rahimakumullah,
Dunia ini adalah sesuatu yang sering -dan memang tabi’atnya- membuat orang lalai dari akhiratnya dan lalai dari Allah subhanahu wata’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan tentang dunia ini:

الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلاَّ ذِكْرَ اللَّهِ وَمَا وَالاَهُ أَوْ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا

“Dunia ini terlaknat, dan terlaknat segala yang ada padanya, kecuali dzikrullah dan yang menyertai dzikrullah (atau penafsiran ulama lain: dan segala yang menambah kedekatkan seorang hamba kepada Allah), seorang yang berilmu, dan seorang yang sedang dalam proses mempelajari ilmu.” [HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]
Laknat -yang bermakna dijauhkan dari rahmat Allah- terhadap dunia bersifat umum, karena lafazhnya menunjukkan mubtada’ dan khabar, sehingga maknanya bahwa dunia semuanya/secara umum dan seisinya semuanya adalah terlaknat.
Karena tabi’at dunia yang melalaikan hamba dan menjauhkan hamba dari Rabbnya, sehingga kemudian membuat seseorang melanggar dan menyalahi syari’at Allah, maka terlaknatlah dunia dan seisinya semuanya.
Hanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kecualikan tiga hal:
1. Dzikrullah dan yang menyertai dzikrullah (atau penafsiran ulama lain: dan segala yang menambah kedekatkan seorang hamba kepada Allah)
2. Seorang yang berilmu,
3. Seorang yang sedang dalam proses mempelajari ilmu.
Tiga inilah yang akan selamat dan diperkecualikan dari laknatnya dunia seisinya dan seluruh yang ada padanya.
Al-Imam Ath-Thibi rahimahullah menerangkan bahwa apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan: “wamaa waalaah” dari pengecualian yang pertama (kecuali dzikrullah dan segala yang menambah kedekatkan seorang hamba kepada Allah) ini bersifat umum dan luas, temasuk di dalamnya itu ilmu dan ta’allum, sehingga orang alim maupun muta’allim telah masuk di dalam keumumannya. Akan tetapi keduanya disebut secara khusus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari keumuman ‘wamaa waalaah‘ adalah termasuk dari bab dzikril khash ba’dal ‘am (penyebutan sesuatu yang khusus setelah penyebutan yang secara umum), dan ini menunjukkan keutamaannya, penting, dan besarnya nilai ilmu, orang alim, dan muta’allim. Sehingga dari sekian banyaknya perkara yang mendekatkan kepada Allah subhanahu wata’ala, hanya dua perkara ini yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan secara khusus, yakni orang yang berilmu dan yang mempelajari ilmu.
Ini juga menunjukkan bahwa merekalah golongan yang berada pada derajat tertinggi dari hamba-hamba Allah subhanahu wata’ala dan ilmu itu merupakan sesuatu yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah. Dan hadits ini pula menunjukkan bahwa manusia selain mereka (alim dan muta’allim) adalah hamaj (orang yang sudah tidak ada gunanya di dunia ini / sia-sia keberadaan mereka di dunia ini, keberadaan mereka sama dengan ketidakadaan mereka).

Sabtu, 13 November 2010

Sejarah Nahdlatul Ulama


Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsaa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan “Kebangkitan Nasional“. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana – setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan “Nahdlatul Fikri” (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bidah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah maupun PSII di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al IslamYogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out. di
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka K.H. Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.